TATA CARA TA'ARUF SECARA SYAR'I
Penulis Oleh Von Edison alouisci
Ini mungkin pertanyaan umum bg kebanyakan ihkwan dan akhwat dalam
menyelesaikan persoalan hubungan antara satu sama lain yg belum
menikah..
1. Bila seorang muslim ingin menikah, bagaimana syariat mengatur cara
mengenal seorang muslimah sementara pacaran terlarang dalam Islam?
2. Bagaimana hukum berkunjung ke rumah akhwat (wanita) yang hendak
dinikahi dengan tujuan untuk saling mengenal karakter dan sifat
masing-masing?
3. Bagaimana hukum seorang ikhwan (lelaki) mengungkapkan perasaannya (sayang atau cinta) kepada akhwat (wanita) calon istrinya?
بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ
Ketahuilah pacaran adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan
peradaban jahiliah yang dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat
dan lainnya, kemudian diikuti oleh sebagian umat Islam (kecuali
orang-orang yang dijaga oleh Allah subhanahu wa ta’ala), dengan dalih
mengikuti perkembangan jaman dan sebagai cara untuk mencari dan memilih
pasangan hidup. Syariat Islam yang agung ini datang dari Rabb semesta
alam Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana, dengan tujuan untuk
membimbing manusia meraih maslahat-maslahat kehidupan dan menjauhkan
mereka dari mafsadah-mafsadah yang akan merusak dan menghancurkan
kehidupan mereka sendiri.
Ikhtilath (campur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram),
pergaulan bebas, dan pacaran adalah fitnah (cobaan) dan mafsadah bagi
umat manusia secara umum, dan umat Islam secara khusus, maka perkara
tersebut tidak bisa ditolerir. Bukankah kehancuran Bani Israil—bangsa
yang terlaknat—berawal dari fitnah (godaan) wanita? Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ
دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا
يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ
لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui
lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka
bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari
kemungkaran yang mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka
lakukan.” (Al Ma`idah: 79-78)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ
فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا
النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي
النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah memesona), dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah (penghuni) di
atasnya, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memerhatikan amalan kalian.
Maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita, karena
sesungguhnya awal fitnah (kehancuran) Bani Israil dari kaum wanita.” (HR
Muslim, dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperingatkan umatnya untuk berhati-hati dari fitnah wanita, dengan sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya
terhadap kaum lelaki dari fitnah (godaan) wanita.” (Muttafaqun ‘alaih,
dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma)
Maka, pacaran berarti menjerumuskan diri dalam fitnah yang menghancurkan
dan menghinakan, padahal semestinya setiap orang memelihara dan
menjauhkan diri darinya.
PACARAN TERDAPAT KEMUNGKARAN DAN PELANGGARAN SYARIAT
1. Ikhtilath,
yaitu bercampur baur antara lelaki dan wanita yang bukan mahram. Padahal
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjauhkan umatnya dari
ikhtilath, sekalipun dalam pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir
pada shalat berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang
masjid. Dan seusai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
berdiam sejenak, tidak bergeser dari tempatnya agar kaum lelaki tetap di
tempat dan tidak beranjak meninggalkan masjid, untuk memberi kesempatan
jamaah wanita meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tidak
berpapasan dengan jamaah lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha dalam Shahih Al Bukhari. Begitu pula pada
hari Ied, kaum wanita disunnahkan untuk keluar ke mushalla (tanah
lapang) menghadiri shalat Ied, namun mereka ditempatkan di mushalla
bagian belakang, jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam usai menyampaikan khutbah, beliau perlu
mendatangi shaf mereka untuk memberikan khutbah khusus karena mereka
tidak mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Jabir
radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim.
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jeleknya
adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir,
dan sejelek-jeleknya adalah shaf terdepan.” (HR Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan
dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga
merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf
terdepan lelaki sehingga merupakan shaf terbaik. Apabila pada ibadah
shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika
di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana
ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang
berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu
terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam
begitu cepatnya mengikuti peredaran darah. Bukankah sangat ditakutkan
terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An
Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45)
Subhanallah. Padahal wanita para shahabat keluar menghadiri shalat dalam
keadaan berhijab syar’i dengan menutup seluruh tubuhnya—karena seluruh
tubuh wanita adalah aurat—sesuai perintah Allah subhanahu wa ta’ala
dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31, tanpa melakukan
tabarruj (memamerkan perhiasan dan bagian-bagian tubuh yang indah dan
menarik serta bagian tubuh lainnya yang mengundang syahwat lelaki, yang
seharusnya ditutup) karena Allah subhanahu wa ta’ala melarang mereka
melakukan hal itu dalam surat Al Ahzab ayat 33, juga tanpa memakai
wewangian berdasarkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Ahmad, Abu Dawud, dan yang
lainnya:
وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga melarang siapa saja dari
mereka yang berbau harum karena terkena bakhur (pengharum ruangan berupa
asap dari kayu tertentu yang harum dan dibakar) untuk untuk hadir
shalat berjamaah sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 53:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
“Dan jika kalian (para shahabat) meminta suatu hajat (kebutuhan) kepada
mereka (istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) maka
mintalah dari balik hijab. Hal itu lebih bersih (suci) bagi kalbu kalian
dan kalbu mereka.”
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai
tuntutan hajat dari balik hijab dan tidak boleh masuk menemui mereka
secara langsung. Asy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tidak
dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lebih bersih dan lebih suci bagi
para shahabat dan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
sedangkan bagi generasi-generasi setelahnya tidaklah demikian. Tidak
diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lebih
butuh terhadap hijab dibandingkan para shahabat, karena perbedaan yang
sangat jauh antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga karena
persaksian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap para
shahabat, baik lelaki maupun wanita, termasuk istri-istri Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri bahwa mereka adalah generasi
terbaik setelah para nabi dan rasul, sebagaimana diriwayatkan dalam
Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pula, dalil-dalil Al
Qur`an dan As Sunnah menunjukkan berlakunya suatu hukum secara umum
meliputi seluruh umat dan tidak boleh mengkhususkannya untuk pihak
tertentu saja tanpa dalil.” (Lihat Fatawa An Nazhar, hal. 11-10)
Pada saat yang sama, ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yang
menjerumuskan mereka untuk berpacaran, sebagaimana fakta yang kita
saksikan berupa akibat ikhtilath yang terjadi di sekolah,
instansi-instansi pemerintah dan swasta, atau tempat-tempat yang
lainnya. Wa ilallahil musytaka (Dan hanya kepada Allah kita mengadu)
2. Khalwat,
yaitu berduaannya lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari
kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami?”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah
kebinasaan.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dengan wanita,
kecuali bersama mahram.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma)
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali setan bersama keduanya
sebagai pihak ketiga, sebagaimana dalam hadits Jabir bin Abdillah
radhiyallahu ‘anhuma:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ
بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا
الشَّيْطَانُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali
dia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa disertai mahramnya, karena
setan akan menyertai keduanya.” (HR Ahmad)
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh
Seperti yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ
مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ
الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى
وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan
melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga
zinanya adalah mendengar, lidah(lisan) zinanya adalah berbicara, tangan
zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu
berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau
mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan bahwa memandang wanita yang tidak halal untuk
dipandang meskipun tanpa syahwat adalah zina mata. Mendengar ucapan
wanita (selain istri) dalam bentuk menikmati adalah zina telinga.
Berbicara dengan wanita (selain istrinya) dalam bentuk menikmati atau
menggoda dan merayunya adalah zina lisan. Menyentuh wanita yang tidak
dihalalkan untuk disentuh baik dengan memegang atau yang lainnya adalah
zina tangan. Mengayunkan langkah menuju wanita yang menarik hatinya atau
menuju tempat perzinaan adalah zina kaki. Sementara kalbu berkeinginan
dan mengangan-angankan wanita yang memikatnya, maka itulah zina kalbu.
Kemudian boleh jadi kemaluannya mengikuti dengan melakukan perzinaan
yang berarti kemaluannya telah membenarkan; atau dia selamat dari zina
kemaluan yang berarti kemaluannya telah mendustakan. (Lihat Syarh
Riyadhis Shalihin karya Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, pada syarah hadits
no. 16 22)
Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” (Al Isra`: 32)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Demi Allah, sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk
dengan jarum dari besi, maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang
tidak halal baginya.” (HR Ath Thabarani dan Al Baihaqi dari Ma’qil bin
Yasar radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash
Shahihah no. 226)
Meskipun sentuhan itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh.
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Tidak. Demi Allah, tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh tangan wanita (selain mahramnya),
melainkan beliau membai’at mereka dengan ucapan (tanpa jabat tangan).”
(HR Muslim)
Demikian pula dengan pandangan, Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam surat An Nur ayat 31-30:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا
فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ …
“Katakan (wahai Nabi) kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menjaga
pandangan serta kemaluan mereka (dari halhal yang diharamkan)—hingga
firman-Nya—Dan katakan pula kepada kaum mukminat, hendaklah mereka
menjaga pandangan serta kemaluan mereka (dari hal-hal yang
diharamkan)….”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang
pandangan yang tiba-tiba (tanpa sengaja)? Maka beliau bersabda:
‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita, pada asalnya bukanlah aurat yang
terlarang. Namun tidak boleh bagi seorang wanita bersuara dan berbicara
lebih dari tuntutan hajat (kebutuhan), dan tidak boleh melembutkan
suara. Demikian juga dengan isi pembicaraan, tidak boleh berupa
perkara-perkara yang membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena
bila demikian maka suara dan ucapannya menjadi aurat dan fitnah yang
terlarang. Allah shallallahu ‘alaihi wasallam berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kalian (para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam)
berbicara dengan suara yang lembut, sehingga lelaki yang memiliki
penyakit dalam kalbunya menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yang
ma’ruf (baik).” (Al Ahzab: 32)
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dan di sekitar beliau hadir para shahabatnya, lalu wanita itu
berbicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan
kepentingannya dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi mereka tidak
berbicara lebih dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan suara.
Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yang
ditolerir dalam Islam untuk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi
jelas pula bahwa tidak boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta
kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu
secara langsung atau lewat telepon, ataupun melalui surat. Karena saling
mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adalah hubungan asmara yang
mengandung makna pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Demikian
pula halnya berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yang ingin
dilamar dan bergaul dengannya dalam rangka saling mengenal karakter dan
sifat masing-masing, karena perbuatan seperti ini juga mengandung makna
pacaran yang akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an (Allah-lah
tempat meminta pertolongan).
Adapun cara yang ditunjukkan oleh syariat untuk mengenal wanita yang
hendak dilamar adalah dengan mencari keterangan tentang yang
bersangkutan melalui seseorang yang mengenalnya, baik tentang biografi
(riwayat hidup), karakter, sifat, atau hal lainnya yang dibutuhkan untuk
diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dengan cara meminta
keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang
seperti istri teman atau yang lainnya. Dan pihak yang dimintai
keterangan berkewajiban untuk menjawab seobyektif mungkin, meskipun
harus membuka aib wanita tersebut karena ini bukan termasuk dalam
kategori ghibah yang tercela. Hal ini termasuk dari enam perkara yang
dikecualikan dari ghibah, meskipun menyebutkan aib seseorang. Demikian
pula sebaliknya dengan pihak wanita yang berkepentingan untuk mengenal
lelaki yang berhasrat untuk meminangnya, dapat menempuh cara yang sama.
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits Fathimah bintu Qais ketika
dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, lalu dia minta
nasehat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka beliau
bersabda:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan
tongkatnya dari pundaknya . Adapun Mu’awiyah, dia adalah lelaki miskin
yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” (HR
Muslim)
Para ulama juga menyatakan bolehnya berbicara secara langsung dengan
calon istri yang dilamar sesuai dengan tuntunan hajat dan maslahat. Akan
tetapi tentunya tanpa khalwat dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu
Utsaimin dalam Asy Syarhul Mumti’ (130-129/5 cetakan Darul Atsar)
berkata: “Bolehnya berbicara dengan calon istri yang dilamar wajib
dibatasi dengan syarat tidak membangkitkan syahwat atau tanpa disertai
dengan menikmati percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukumnya
haram, karena setiap orang wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.”
Perkara ini diistilahkan dengan ta’aruf. Adapun terkait dengan hal-hal
yang lebih spesifik yaitu organ tubuh, maka cara yang diajarkan adalah
dengan melakukan nazhor, yaitu melihat wanita yang hendak dilamar.
Nazhor memiliki aturan-aturan dan persyaratan-persyaratan yang
membutuhkan pembahasan khusus.
untuk mempermudah pemahaman bagaimana sebenarnya proses ta`aruf,maka secara garis besarnya dapat di artikan sebagai berikut.:
menyadari bahwa pernikahan bukanlah hubungan temporer,tp diharapkan bisa
langgeng,islam sangat ketat membatasi hubungan pria dan wanita non
muhrim.namun demikian,islam juga memberikan kesempatan saling mengenal
kepada calon suami atau istri agar tdk terjebak dalam praktek"membeli
kucing dalam karung"ta`aruf tidak terbatas perkenalan pisik,tetapi juga
menyangkut perkenalan akhlak dan ilmu masing masing.
Ta`aruf dimulai dgn mencari informasi sebanyak banyaknya mengenai calon
pasangan,terutama dr keluarga terdekat yang paling baik agamanya.dgn
demikian diharapkan yang bersangkutan bisa adil dan jujur,sementara
penggalian informasi di pokuskan seputar masalah agama dan akhlak calon
pasangan.
Upaya tersebut berdasarkan sabda Rasulullah "sesungguhnya wanita
dinikahi karena empat hal.hartanya,kecantikannya,nasapnya,dan
agamanya.pilihlah yang paling baik agamanya maka engkau akan beruntung"
Meski Obyek hadits tersebut adalah pria,pihak orang tua wanita sebaiknya
juga mempelajari kepribadian dan agama calon mempelai pria,misalnya
berinteraksi langsung dgn calaon mempelai pria maupun lewat kerabat
dekatnya.lagi lagi akhlak dan agamanya yang harus menjadi pertimbangan
utama dalam menerima atau menolak calon menantu.
Dalam proses taaruf berlaku saling amanah.kerabat dekat yang ditanya
tidak boleh menutupi kebenaran,sementara calon mempelai yang bertanya
harus mampu menjaga rahasia mengenai inpormasi yang di
perolehnya,terutama jika inpormasi yang diperolehnya merupakan aib.
Setelah taaruf dianggap cukup,dianjurkan melakukan sholat
istigharoh,sampai mendapatkan kemantapan hat dr Allah SWT untuk
mengambil keputusan.setelah memutuskan pilihan,calon mempelai pria
sebaiknya tidak menunda untuk meminang.demikian untuk calon mempelai
wanita.setelah mendapat inpormasi yang cukup dan hatipun
mantap,hendaknya segera memberi keputusan atas pinangan calonnya.
demikian sebenarnya proses taarup menurut kaidah islam yang
dianjurkan.semoga bermanpaat dapat dapat dipahami bg ikhwan dan akhwat
yg hendak menikah.
Salam Santunku Dan salam Hormatku
Von Edison Alouisci
Pages
http://www.facebook.com/von.edison.alouisci
Selasa, 10 Juli 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar